Jumat, 03 September 2010

PERKEMBANGAN MORFOLOGI KOTA MEDAN

Sejarah Kota Medan

Sejarah kota medan berawal dari sebuah perkampungan kecil yang dibuka sekitar tahun 1590-an oleh guru yang bernama Guru Patimpus yang beragama Islam dan berasal dari suku Karo. Perkampungan yang didirikan oleh Guru Patimpus terletak pada pertemuan antara Suangai Deli dan Sungai Babura dan diberi nama Medan Putri. Karena kawasan tersebut merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, maka Medan Putri yang merupakan cikal bakal kota Medan, dengan cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting. Jhon Anderson, seorang Inggris yang melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823, mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang. Tapi dia hanya melihat penduduk yang menetap di pertemuan antara dua sungai tersebut. Perkembangan kota medan sangat dipengaruhi oleh perkebunan tembakau yang dibangun oleh Belanda dan banyak orang – orang berdatangan dari beberapa Pulau untuk bekerja pada perusahaan tersebut.

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya nilai – nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Bila ditinjau dari segi struktural kota medan mempunyai bentuk fisik yang sangat beragam dan mengalami kemajuan yang sangat cepat. Jumlah bangunan tua di Medan yang memiliki muatan sejarah penting, perlahan menyurut, seiring langkah pembangunan fisik kota atas nama modernisasi. Segenap aktivitas fisik seperti pelebaran jalan, pendirian pusat-pusat perdagangan, gedung-gedung baru atas nama dinamika perputaran ekonomi, kerap menggusur gedung-gedung lama yang dianggap perintang. Penghancuran bangunan-bangunan tua selama ini cenderung untuk mengejar pendapatan asli daerah. Ironisnya, kebijakan yang mengatas namakan pembangunan Medan menuju kota metropolitan sangat tergesa karena hanya meraup keuntungan jangka pendek, dengan mengabaikan aspek lingkungan dan berbagai aspek sosial-budaya masyarakat. Medan mestinya dapat meniru negara-negara Eropa yang mempertahankan keaslian bangunan bersejarah di bagian luar sementara bagian dalamnya direnovasi sesuai perkembangan zaman. Kita harus mempertahankan bangunan-bangunan itu karena kita belum tentu dapat membangun yang serupa di masa kini. Kita bisa belajar bagaimana Jerman mengelola asset kota tuanya. Penonton tak hanya menikmati pagelaran piala dunia saja, tapi di sana mereka juga disuguhi keindahan gedung-gedung tua bersejarah.

Masalah yang dihadapi dalam pembangunan Kota Medan

Kota Medan dihadapi oleh maraknya kehadiran pedagang kaki lima yang berjualan di tempat yang strategis dekat keramaian tanpa memperhitungkan mengganggu pengguna jalan dan memberi kesan kesemrawutan serta mengurangi estetika kota. Kehadiran pedagang kaki lima ini dipengaruhi tiga faktor, pertama, sebagai akibat terlambatnya peremajaan pasar-pasar tradisional. Kedua, terlambatnya pembangunan pasar induk sebagai pusat distribusi yang menyebabkan munculnya pedagang kaki lima di sekitar pusat pasar yang berada di jalan Sutomo dan sekitarnya. Ketiga, sebagai akibat adanya pusat aktifitas bisnis, perkantoran, rumah sakit, dan sebagainya yang menyebabkab munculnya padagang kaki lima di sekitar pusat-pusat kegiatan tersebut baik yang berada di daerah inti kota maupun yang berada di daerah pinggiran dan pembangunan jalan-jalan baru (outer ringroad).

Ketersediaan ruang terbuka hijau sebagai sarana tempat bersosialisasi masyarakat dan sebagai paru-paru kota juga masih sangat kurang. Kota Medan ternyata hanya mempunyai taman seluas 21,5 hektar yang tersebar di 81 taman di seluruh kota. Angka itu tak sebanding dengan luas kota Medan yang mencapai 26.510 hektar. Selama ini penghitungan ruang terbuka hijau yang dinyatakan 5-7 persen dari luas kota di dalamnya ternyata mencakup makam yang luasnya mencapai 57,2 hektar, lapangan olahraga 16,89 hektar, dan taman segitiga di tengah jalan. Angka 21,5 hektar juga termasuk taman-taman yang dikelola oleh sekolah-sekolah. Pembangunan ruko-ruko di pinggiran Kota Medan juga kurang memberikan ruang pada pepohonan. Jika masalah tersebut tidak segera dianitipasi, sedangkan pembangunan dilakukan terus menerus tanpa memperhitungkan aspek lingkungan, maka akan menjadi bom waktu bagi Kota Medan yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menjadikan Kota Medan sebagai kota kumuh. Hal ini merupakan salah satu masalah yang menjadi tantangan pemerintah Kota Medan untuk menyelamatkan Kota Medan dari keterpurukan tersebut.

Sumber:

Megawati, 2006. SEJARAH KOTA MEDAN. http://cintamedan.blogspot.com/2008/11/sejarah-kota-medan.html. diakses tgl 1 september 2010.